Sabtu, 02 Februari 2013

Kisah Telaga Warna



Kisah Telaga Warna

Kalau kita pergi ke daerah Puncak, Jawa Barat, di sana terdapat sebuah telaga yang bila dilihat pada hari cerah akan terkesan airnya berwarna-warni. Telaga itu namanya Telaga Warna dan konon merupakan air mata tangisan seorang ratu.

Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat. Negeri itu dipimpin oleh seorang raja. Prabu, begitulah orang memanggilnya. Ia adalah raja yang baik dan bijaksana. Tak heran, kalau negeri itu makmur dan tenteram. Tak ada penduduk yang lapar di negeri itu.

Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak. Itu membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan, agar mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. “Buat kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat,” sahut mereka.

Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya.. Lalu Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus berdoa, agar dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.

Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri. Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja yang cantik.

Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa pun yang dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata kasar. Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.

Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri. Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk kepentingan rakyat.

Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan. “Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku,” kata Prabu. “Dengan senang hati, Yang Mulia,” sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri.

Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.

Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya. “Putriku tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak,” kata Prabu.

Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. “Aku tak mau memakainya. Kalung ini jelek!” seru Putri. Kemudian ia melempar kalung itu. Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.

Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu. Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba terdengar tangisan Ratu. Tangisannya diikuti oleh semua orang.

Tiba-tiba muncul mata air dari halaman istana. Mula-mula membentuk kolam kecil. Lalu istana mulai banjir. Istana pun dipenuhi air bagai danau. Lalu danau itu makin besar dan menenggelamkan istana.

Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di dasar telaga.

Asal Usul Padi



Asal Usul Padi

Nenek moyang kita dari daerah Jawa mempunyai legenda asal-usul padi Jawa yang unik. Kata yang empunya cerita, Dahulu kala di Kahyangan, Batara Guru yang menjadi penguasa tertinggi kerajaan langit, memerintahkan segenap dewa dan dewi untuk bergotong-royong, menyumbangkan tenaga untuk membangun istana baru di kahyangan. Siapapun yang tidak menaati perintah ini dianggap pemalas, dan akan dipotong tangan dan kakinya. Mendengar titah Batara Guru, Antaboga (Anta) sang dewa ular sangat cemas. Betapa tidak, ia samasekali tidak memiliki tangan dan kaki untuk bekerja. Jika harus dihukum pun, tinggal lehernyalah yang dapat dipotong, dan itu berarti kematian. Anta sangat ketakutan, kemudian ia meminta nasihat Batara Narada, saudara Batara Guru, mengenai masalah yang dihadapinya. Tetapi sayang sekali, Batara Narada pun bingung dan tak dapat menemukan cara untuk membantu sang dewa ular. Putus asa, Dewa Anta pun menangis terdesu-sedu meratapi betapa buruk nasibnya.

Akan tetapi ketika tetes air mata Anta jatuh ke tanah, dengan ajaib tiga tetes air mata berubah menjadi mustika yang berkilau-kilau bagai permata. Butiran itu sesungguhnya adalah telur yang memiliki cangkang yang indah. Barata Narada menyarankan agar butiran mustika itu dipersembahkan kepada Batara Guru sebagai bentuk permohonan agar beliau memahami dan mengampuni kekurangan Anta yang tidak dapat ikut bekerja membangun istana.

Dengan mengulum tiga butir telur mustika dalam mulutnya, Anta pun berangkat menuju istana Batara Guru. Di tengah perjalanan Anta bertemu dengan seekor burung gagak yang kemudian menyapa Anta dan menanyakan kemana ia hendak pergi. Karena mulutnya penuh berisi telur Anta hanya diam tak dapat menjawab pertanyaan si burung gagak. Sang gagak mengira Anta sombong sehingga ia amat tersinggung dan marah. Burung hitam itu pun menyerang Anta yang panik, ketakutan, dan kebingungan. Akibatnya sebutir telur mustika itu pecah. Anta segera bersembunyi di balik semak-semak menunggu gagak pergi. Tetapi sang gagak tetap menunggu hingga Anta keluar dari rerumputan dan kembali mencakar Anta. Telur kedua pun pecah, Anta segera melata beringsut lari ketakutan menyelamatkan diri, kini hanya tersisa sebutir telur mustika yang selamat, utuh dan tidak pecah.

Akhirnya Anta tiba di istana Batara Guru dan segera mempersembahkan telur mustika itu kepada sang penguasa kahyangan. Batara Guru dengan senang hati menerima persembahan mustika itu. Akan tetapi setelah mengetahui mustika itu adalah telur ajaib, Batara Guru memerintahkan Anta untuk mengerami telur itu hingga menetas. Setelah sekian lama Anta mengerami telur itu, maka telur itu pun menetas. Akan tetapi secara ajaib yang keluar dari telur itu adalah seorang bayi perempuan yang sangat cantik, lucu, dan menggemaskan. Bayi perempuan itu segera diangkat anak oleh Batara Guru dan permaisurinya.

Nyi Pohaci Sanghyang Sri adalah nama yang diberikan kepada putri itu. Seiring waktu berlalu, Nyi Pohaci tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik luar biasa. Seorang putri yang baik hati, lemah lembut, halus tutur kata, luhur budi bahasa, memikat semua insan. Setiap mata yang memandangnya, dewa maupun manusia, segera jatuh hati pada sang dewi. Akibat kecantikan yang mengalahkan semua bidadari dan para dewi khayangan, Batara Guru sendiri pun terpikat kepada anak angkatnya itu. Diam-diam Batara guru menyimpan hasrat untuk mempersunting Nyi Pohaci. Melihat gelagat Batara Guru itu, para dewa menjadi khawatir jika dibiarkan maka skandal ini akan merusak keselarasan di kahyangan. Maka para dewa pun berunding mengatur siasat untuk memisahkan Batara Guru dan Nyi Pohaci Sanghyang Sri.

Untuk melindungi kesucian Nyi Pohaci, sekaligus menjaga keselarasan rumah tangga sang penguasa kahyangan, para dewata sepakat bahwa tak ada jalan lain selain harus membunuh Nyi Pohaci. Para dewa mengumpulkan segala macam racun berbisa paling mematikan dan segera membubuhkannya pada minuman sang putri. Nyi Pohaci segera mati keracunan, para dewa pun panik dan ketakutan karena telah melakukan dosa besar membunuh gadis suci tak berdosa. Segera jenazah sang dewi dibawa turun ke bumi dan dikuburkan ditempat yang jauh dan tersembunyi.

Lenyapnya Dewi Sri dari kahyangan membuat Batara Guru, Anta, dan segenap dewata pun berduka. Akan tetapi sesuatu yang ajaib terjadi, karena kesucian dan kebaikan budi sang dewi, maka dari dalam kuburannya muncul beraneka tumbuhan yang sangat berguna bagi umat manusia. Dari kepalanya muncul pohon kelapa; dari hidung, bibir, dan telinganya muncul berbagai tanaman rempah-rempah wangi dan sayur-mayur; dari rambutnya tumbuh rerumputan dan berbagai bunga yang cantik dan harum; dari payudaranya tumbuh buah buahan yang ranum dan manis; dari lengan dan tangannya tumbuh pohon jati, cendana, dan berbagai pohon kayu yang bermanfaat; dari alat kelaminnya muncul pohon aren atau enau bersadap nira manis; dari pahanya tumbuh berbagai jenis tanaman bambu, dan dari kakinya mucul berbagai tanaman umbi-umbian dan ketela; akhirnya dari pusaranya muncullah tanaman padi, bahan pangan yang paling berguna bagi manusia.

Versi lain menyebutkan padi berberas putih muncul dari mata kanannya, sedangkan padi berberas merah dari mata kirinya. Singkatnya, semua tanaman berguna bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Sri Pohaci. Sejak saat itu umat manusia di pulau Jawa memuja, memuliakan, dan mencintai sang dewi baik hati, yang dengan pengorbanannya yang luhur telah memberikan berkah kebaikan alam, kesuburan, dan ketersediaan pangan bagi manusia. Pada sistem kepercayaan Kerajaan Sunda kuna, Nyi Pohaci Sanghyang Sri dianggap sebagai dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris.

Ulat Tanah



Ulat Tanah

Hampir seminggu Tuan Peladang duduk termenung. Musim kemarau memusnahkan tanaman diladangnya. Tanah menjadi kering-kontang. Tuan Peladang melihat air simpanannya di dalam tempayan cuma tinggal separuh sahaja lagi. Dia khuatir jika keadaan kemarau terus berlarutan, ini akan mengakibatkan dia mati kehausan.

Seekor lembu kepunyaan Tuan Peladang berada di kandang. Sang Lembu gembira kerana tidak perlu bekerja di ladang sejak musim kemarau melanda. Namun demikian, kegembiraan lembu itu tidak lama kerana musim kemarau itu menyebabkan rumput-rumput segar yang menjadi makanannya kering dan mati. Kini sukar bagi Sang Lembu itu mendapatkan rumput yang segar.

Pada suatu hari Sang Lembu mengambil keputusan untuk meninggalkan Tuan Peladang. Seboleh-bolehnya Sang Lembu ingin membuat sesuatu untuk mengubat kesedihan Tuan Peladang. Pada suatu malam, Sang Lembu telah keluar meninggalkan kandangnya. Sang Lembu berjalan untuk mencari sumber air. Setelah jauh berjalan, Sang Lembu terjumpa dengan sebuah perigi. Sang Lembu berfikir, tentulah perigi itu mempunyai air tetapi sungguh malang nasibnya kerana tiada air di dalam perigi tersebut. Sang Lembu berasa sedih dan duduk di tepi perigi buta itu sambil mengenangkan nasib yang bakal manimpa dirinya.

Sewaktu Sang Lembu duduk ditepi perigi itu, dia terdengar satu suara memanggilnya.
“Siapa?” Sang Lembu bertanya kehairanan.

“Aku, ulat tanah di dalam perigi buta ini.”

“Buat apa kamu di dalam perigi ini?” soal Sang Lembu lagi.

“Ini rumahku Sang Lembu. Sudah lama aku di sini sejak perigi ini kering airnya.”

“Tapi bagaimana kamu boleh hidup tanpa air di sini?” cetus Sang Lembu itu.

“Aku akan memberitahu kamu kenapa aku boleh hidup di sini tetapi kamu mestilah berjanji denganku terlebih dahulu.”

“Cakaplah saja dan aku akan berpegang pada janji-janji kamu itu.”

“Aku tahu kamu dan Tuan Peladang menghadapi masalah kekurangan air. Aku boleh tolong mengatasi masalah tersebut.” Sang Lembu tertawa. Dia tidak percaya dengan ulat tanah. “Dengarlah dulu kata-kata aku ini. Janganlah mentertawakan aku pula,” marah ulat tanah.

“Aku minta maaf Sang Ulat. Cakaplah aku bersedia mendengarnya.”

“Sebenarnya tanah di dalam perigi ini tetap lembap. Kalau digali pasti akan mengeluarkan air. Air perigi ini akan penuh semula. Justeru itu aku boleh berikan perigi ini kepada kamu dan Tuan Peladang. Tetapi sebagai ganjaran kamu hendaklah menyuruh Tuan Peladang menanam tanam-tanaman seperti sayur-sayuran di sekitar perigi ini. Aku dan kawan-kawanku akan berpindah dari perigi ini tetapi tidak jauh dari kawasan ini juga.”

“Terima kasih atas pertolongan kamu itu Sang Ulat. Tapi kenapa tuan aku mesti menanam tanaman di kawasan perigi ini?”

“Itu sebagai ganjaran kepadaku. Kamu hendaklah merahsiakan perkara ini dan tidak memberitahu sesiapa pun tentang perigi ini. Berjanjilah kamu akan menyuruh Tuan Peladang menanam sayur-sayuran di sini.”

“Baiklah. Terima kasih di atas pertolongan kamu itu wahai Sang Ulat.”

“Ah! Perkara biasa saja. Bukankah kita hidup perlu saling tolong-menolong.”

Sang Lembu pulang dengan hati yang girang. Didapatinya Tuan Peladang masih duduk termenung. Sang Lembu terus menceritakan tentang penemuan perigi itu kepada Tuan Peladang. Mendengarkan cerita Sang Lembu, tanpa berlengah-lengah lagi Tuan Peladang membawa cangkul dan tangga ke perigi yang dikatakan oleh Sang Lembu.

Tuan Peladang turun ke dalam perigi menerusi tangga yang dibawanya dan terus mencangkul tanah di dalam perigi tersebut. Tidak berapa lama kemudian, mata air mulai muncul di permukaan tanah.

Hati Tuan Peladang bertambah riang. Air mulai memenuhi perigi itu. Tuan Peladang menepuk-nepuk belakang Sang Lembu yang berjasa terhadapnya. Walaupun begitu Sang Lembu tidak memberitahu siapakah yang mengesyorkan agar Tuan Peladang menanam sayur-sayuran di kawasan perigi itu. Tuan Peladang pula tidak banyak soal dan bersetuju dengan pendapat Sang Lembu untuk menanam tanam-tanaman di kawasan itu. Ini akan memudahkan lagi baginya mendapat bekalan air.

Beberapa bulan kemudian, sayur-sayuran tersebut tumbuh dengan suburnya. Tuan Peladang berasa sangat gembira. Di samping itu, Tuan Peladang juga menperolehi pendapatan daripada hasil menjual air. Semakin bertambah lumayan pendapatan Tuan Peladang.
Pada suatu hari, Tuan Peladang datang ke kawasan perigi untuk memetik sayur-sayurannya tetapi alangkah terkejutnya Tuan Peladang apabila mendapati sayur-sayurannya terkorek di sana-sini. Tuan Peladang menuduh Sang Lembu memakan dan merosakkan tanaman yang ditanamnya. Sang Lembu tidak mengaku bersalah. Tuan Peladang semakin marah dan memukul belakang Sang Lembu sekuat-kuat hatinya. Sang Lembu menjerit kesakitan dan terpaksalah dia berterus-terang. Mendengarkan cerita Sang Lembu, Tuan Peladang rasa tertipu.

Tuan Peladang tidak mempercayai bahawa ulat tanah boleh membantu memberikan air. Tuan Peladang mencari ulat tanah di merata-rata tempat. Beberapa kawasan tanah digali oleh Tuan Peladang. Akhirnya Tuan Peladang berjumpa dengan sekelompok ulat tanah. Tanpa membuang masa lagi, Tuan Peladang mengambil racun lalu disemburkannya ke arah ulat-ulat tersebut. Banyaklah ulat tanah yang menjadi korban.

Seekor ulat tanah sempat melarikan diri. Ulat tanah itu tahu Tuan Peladang tidak berhati perut dan mengenang budi. Ulat tanah bersumpah untuk membalas dendam. Ulat tanah tidak mahu melihat Tuan Peladang dan Sang Lembu di kawasannya lagi. Sememangnya Sang Ulat Tanah menyimpan kemarahan yang amat sangat.

Tiba-tiba air perigi menjadi kering kembali. Habis kesemua tanaman Tuan Peladang terkulai layu. Tuan Peladang tersentak melihat perubahan yang mendadak itu. Dia berasa sangat menyesal kerana membunuh ulat-ulat tanah. Sang Lembu pun turut bersedih mengenangkan bencana yang bakal diterimanya nanti. Dari satu arah Sang Lembu terdengar suara Sang Ulat Tanah berkata sesuatu.

“Tidak semua orang itu boleh dijadikan kawan. Lebih baik hidup bersendirian dari berdampingan dengan orang yang tak tahu mengenang budi.”

Kini Sang Lembu mengerti tentang kesilapannya. Dialah yang patut disalahkan kerana memberitahu Tuan Peladang tentang ulat tanah yang tinggal di kawasan itu.