PENEBANGAN HUTAN SECARA LIAR (ILLEGAL LOGGING)
Negara kita pernah
dijuluki " Zamrud Khatulistiwa " akan karena hijaunya kepulauan
Indonesia dilihat dari luar angkasa. Negara kita sempat dihormati tinggi
sebagai negara penghasil SDA terkaya di dunia dengan minyak buminya, dengan
rempah - rempahnya, dan dengan seluruh kekayaan alam lainnya hingga bangsa -
bangsa penjajah tertarik untuk menikmati hasil alam kita oleh karena susahnya
mereka menghasilkan sumber kekayaan alam tersebut dengan kondisi alam fisik
mereka yang relatif dingin dan memiliki 4 musim kebanyakan.
Namun lihat kenyataan
yang sudah terjadi sekarang, Penebangan Hutan yang marak terjadi di daerah
Sumatera dan Kalimantan ini seringkali berlaku di luar batas sehingga berakibat
fatal terhadap SDA yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Penebangan hutan yang liar
dan kerapkali illegal ini mengakibatkan Indonesia semakin hari semakin
kekurangan oksigen dan pada akhirnya berdampak pada bocornya lapisan ozon tepat
di atas negara kita.
Berbagai cara – cara
telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk melawan penebangan hutan secara
liar, namun semua itu tidaklah efektif untuk membendung kebutuhan kayu dari
Negara – Negara di luar Indonesia. Usaha untuk menghilangkan penebangan ilegal melalui
larangan ekspor dan aturan lain belum bisa dikatakan berhasil.
Rasanya tidaklah heran
negara kita tidak dapat terlepas dari bencana banjir di berbagai wilayah di
Indonesia. Semakin banyaknya penebangan hutan liar, maka akar – akar pepohonan
yang memiliki fungsi utama untuk menahan air – air hujan yang deras tentu saja
akan terhambat dan akan tentu saja sangat berpotensi menimbulkan banjir di
wilayah – wilayah yang lebih mementingkan perumahan industri daripada pepohonan
alami.
Hutan-hutan Indonesia menghadapi
masa depan yang suram. Walau negara tersebut memiliki 400 daerah yang
dilindungi, namun kesucian dari kekayaan alam ini seperti tidak ada. Dengan
kehidupan alam liar, hutan, tebing karang, atraksi kultural, dan laut yang
hangat, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk eko-turisme.
Melihat dampak dari
penebangan hutan secara liar tersebut,maka perlu adanya suatu cara untuk
mencegah terjadinya hal tersebut. Dalam menyikapi adanya penebangan hutan
tersebut dengan cara pendekatan secara neo-humanis. Di bawah ini akan diuraikan
beberapa pendekatan neo-humanis dalam mencegah dan mengurangi terjadinya
penebangan hutan secara liar :
1. Melakukan pembenahan
terhadap sistem hukum yang mengatur tentang pengelolaan hutan
2. Bimbingan dan penyuluhan
kepada penduduk setempat tentang betapa pentingnya keberadaan hutan bagi
kehidupan semua umat.
3. Dalam hal penebangan hutan
secara konservatif, denagn cara menebang pohon yang sudah tidak berproduktif
lagi.
4. Melakukan program reboisasi
secara rutin
5. Selain
itu, perlu adanya inovasi pelatihan keterampilan kerja di masyarakat secara
gratis dan rutin dari pihak-pihak yang terkait, seperti Dinas Tenaga Kerja,dll,
sehinnga masyarakat tidak hanya bergantung pada hasil hutan saja, tetapi dapat
mengembangkan keterampilan-keterampilan dimilkinya.
Definisi
Illegal logging atau dengan terjemahan sederhana
pembalakan liar pada dasarnya merupakan istilah yang tidak pernah
disebutkan dalam peraturan perundang-undangan manapun. Biasanya istilah ini
mengacu untuk serangkaian perbuatan pidana yang ada dalam Pasal 50 UU
Kehutanan, mulai dari penebangan ilegal, penguasaan, transportasi, hingga
penjualan terhadap kayu tersebut. Namun demikian, Pasal 50 tidak menyatakan
kejahatan tersebut sebagai rangkaian kejahatan. Kejahatan penebangan ilegal
diatur tersendiri sebagaimana pengangkutan dan penjualan kayu ilegal juga
diatur terpisah dengan sanksi yang berbeda pula. Penebangan liar misalnya
diatur dalam huruf e Pasal 50: “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil
hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;”
Huruf h Pasal 50: “mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;” huruf
f Pasal 50: “menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal
dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;”
Istilah
illegal logging tampaknya cenderung kepada masalah
penebangan liar atau penebangan tanpa izin, sedangkan perambahan luput dari
kategori illegal logging. Akibatnya, kegiatan perambahan dilakukan secara
terbuka/terang-terangan tanpa takut sedikitpun dengan petugas, sedangkan
illegal logging dilakukan secara sembunyi-sembunyi, baik pada waktu siang
hari ataupun pada malam hari.
penebangan liar atau penebangan tanpa izin, sedangkan perambahan luput dari
kategori illegal logging. Akibatnya, kegiatan perambahan dilakukan secara
terbuka/terang-terangan tanpa takut sedikitpun dengan petugas, sedangkan
illegal logging dilakukan secara sembunyi-sembunyi, baik pada waktu siang
hari ataupun pada malam hari.
Dalam
istilah kehutanan, logging adalah suatu aktivitas atau kegiatanpenebangan
kayu di dalam kawasan hutan yang dilakukan oleh seseorang, kelompok ataupun
atas nama perusahaan, berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah atau
instansi yang berwenang (kehutanan) sesuai dengan prosedur tata cara penebangan
yang diatur dalam peraturan perundangan kehutanan. Dengan demikian, logging
atau penebangan dapat dibenarkan sepanjang, mempunyai izin, mengikuti prosedur
penebangan yang benar berdasarkan aspek kelestarian lingkungan, dan mengikuti
prosedur pemanfaatan dan peredaran hasil hutan berdasarkan ketentuan yang
berlaku. (Keputusan Menteri Kehutanan No. 127/Kpts-II/2003 tentang
Penatausahaan Hasil Hutan; sebagai pengganti Kep. Menteri Kehutanan No.
316/Kpts-II/1999 tentang Tata Usaha Kayu/Hasil Hutan).
Sebaliknya
ada peristilahan illegal logging yang merupakan antitesa dari istilah logging.
Illegal berarti tidak didasari dengan peraturan perundangan atau dasar hukum
positif yang telah ditentukan oleh pemerintah, dan berkonotasi “liar” serta
mengandung konsekuensi melanggar hukum, karena mengambil atau memiliki sesuatu
milik pihak lain, yang bukan haknya. Kepada pelanggar atau pelaku dapat
dikenakan sanksi hukum berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan Kitab Undang-Undang HukumPidana (KUHP). Dengan demikian ilog adalah
penebangan liar atau penebangan tanpa izin yang termasuk kejahatan ekonomi dan
lingkungan karena menimbulkan kerugian material bagi negara serta kerusakan
lingkungan/ekosistem hutan dan dapat dikenakan sanksi pidana dengan ancaman
kurungan paling lama 10-15 tahun dan denda paling banyak Rp 5-10 miliar (UU No.
41 1999 tentang Kehutanan, Pasal 78).
Masalah
ilegal logging akan semakin menjadi luas pengertiannya,
manakala dihubungkan dengan kegiatan yang disebut dengan “perambahan hutan”.
Dalam permasalahan kehutanan, kedua kegiatan tersebut (ilegal logging dan
perambahan hutan)disebut sebagai “penjarahan hutan”.
Akar Masalah
Pada
dasarnya masalah ilegal logging tidak terlepas dari masalah kajian publik,
yang sebenarnya berintikan masalah kebijakan (policy problem),
sehingga pemecahan masalahnya (problem solving) juga harus
dimulai dengan kebijakan publik (public policy) itu sendiri.
Perlu kita kaji akar permasalahan ilegal loggging tersebut
secara saksama berdasarkan konsep kajian publik. Dari kajian ini kita bisa mengetahui
dan memahami bahwa akar permasalahan ilegal logging sebenarnya
adalah masalah kebijakan dan pemecahan masalah.
Masalah
kebijakan dalam menangani ilegal logging sangat kompleks, mencakup masalah
kebijakan internal (kehutanan) dan masalah kebijakan eksternal (di luar
kehutanan). Kedua sumber masalah ini berinteraksi satu sama lain. Akibatnya, hasil dari keduanya membuat suatu vector permasalahan. Makin kuat vector permasalahan; maka makin sulit pula ilog diatasi. Indikator tersebut tampak dari semakin maraknya ilog, baik dalam skala nasional maupun regional atau provinsi, sehingga apabila kondisi ini tidak segera diatasi dengan “komitmen” bersama, maka dapat dipastikan “pintu gerbang” kehancuran hutan telah dekat dihadapan kita. Tidak berlebihan kiranya apabila dalam waktu 10-20 tahun mendatang hutan tropis/alam akan punah, sementara hutan tanaman belum menampakkan hasil yang signifikan.
kehutanan). Kedua sumber masalah ini berinteraksi satu sama lain. Akibatnya, hasil dari keduanya membuat suatu vector permasalahan. Makin kuat vector permasalahan; maka makin sulit pula ilog diatasi. Indikator tersebut tampak dari semakin maraknya ilog, baik dalam skala nasional maupun regional atau provinsi, sehingga apabila kondisi ini tidak segera diatasi dengan “komitmen” bersama, maka dapat dipastikan “pintu gerbang” kehancuran hutan telah dekat dihadapan kita. Tidak berlebihan kiranya apabila dalam waktu 10-20 tahun mendatang hutan tropis/alam akan punah, sementara hutan tanaman belum menampakkan hasil yang signifikan.
Untuk
mengetahui apa sebenarnya masalah kebijakan internal dan apa masalah
kebijakan eksternal, perlu kita identifikasi masalah kebijakan tersebut sebagai berikut:
kebijakan eksternal, perlu kita identifikasi masalah kebijakan tersebut sebagai berikut:
Menyangkut
masalah kebijakan internal dimulai dengan kelembagaan. Banyak
lembaga kehutanan yang menangani hutan, lebih-lebih dengan adanya era otonomi daerah mulai dari pemerintah pusat yaitu Departemen Kehutanan dengan unit-unit pelaksana teknis (UPT)-nya di daerah, sampai tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kotamadya) dengan unit pelaksana teknis daerah (UPTD)-nya. Adanya lembaga atau instansi kehutanan ini tidak jelas tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Kadang terjadi tumpang tindih kewenangan, serta
dalam operasional tidak jelas tata hubungan kerjanya. Dengan kata lain, tidak ada platform atau satuan pandang yang sama satu sama lain mengenai sistem pengelolaan hutan yang lestari, meskipun untuk itu telah ada banyak panduan tentang bagaimana konsep sistem pengelolaan hutan lestari itu dari Departemen Kehutanan.
lembaga kehutanan yang menangani hutan, lebih-lebih dengan adanya era otonomi daerah mulai dari pemerintah pusat yaitu Departemen Kehutanan dengan unit-unit pelaksana teknis (UPT)-nya di daerah, sampai tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kotamadya) dengan unit pelaksana teknis daerah (UPTD)-nya. Adanya lembaga atau instansi kehutanan ini tidak jelas tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Kadang terjadi tumpang tindih kewenangan, serta
dalam operasional tidak jelas tata hubungan kerjanya. Dengan kata lain, tidak ada platform atau satuan pandang yang sama satu sama lain mengenai sistem pengelolaan hutan yang lestari, meskipun untuk itu telah ada banyak panduan tentang bagaimana konsep sistem pengelolaan hutan lestari itu dari Departemen Kehutanan.
Ironisnya, kebijakan kelembagaan kehutanan
antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota tidak merupakan kebijakan yang saling
mendukung, bahkan terkesan pusat (Departemen Kehutanan) menjaga jarak dengan
daerah dalam hal kewenangan, sehingga tidak lagi terlihat arah pembangunan
kehutanan yang jelas,Begitu kompleksnya masalah ilog sehingga apa sebenarnya
akar permasalahan hingga penanganan ilog menjadi begitu sulit dan bahkan
Departemen Kehutanan telah mengeluarkan 5 (lima) kebijakan pokok, di mana
masalah pemberantasan penebangan liar atau illegal logging menjadi kebijakan
pokok yang pertama, di samping kebijakan pokok yang lain, yaitu penanggulangan
kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi
alam, dan desentralisasi sektor kehutanan (Kep. Menhut. no. 7501/
Kpts-II/2002).
Masalah
lain, kebijakan pemerintah selama ini dengan menetapkan kawasan
hutan berdasarkan Keputusan Menhut, ternyata tidak banyak mendukung prakondisi dalam pemantapan kawasan hutan. Sampai saat ini hampir 80% kawasan hutan belum selesai penetapan/pengukuhannya oleh Menteri Kehutanan, meskipun barangkali secara fisik sudah 100% kawasan hutan di tata bebas. Belum mantapnya status kawasan hutan ini, juga mengundang permasalahan sengketa, di mana dalam setiap penyelesaian masalah sengketa batas atau kawasan hutan di pengadilan, pihak kehutanan selalu terpojok apabila sudah menyangkut masalah bukti hukum status kawasan.
hutan berdasarkan Keputusan Menhut, ternyata tidak banyak mendukung prakondisi dalam pemantapan kawasan hutan. Sampai saat ini hampir 80% kawasan hutan belum selesai penetapan/pengukuhannya oleh Menteri Kehutanan, meskipun barangkali secara fisik sudah 100% kawasan hutan di tata bebas. Belum mantapnya status kawasan hutan ini, juga mengundang permasalahan sengketa, di mana dalam setiap penyelesaian masalah sengketa batas atau kawasan hutan di pengadilan, pihak kehutanan selalu terpojok apabila sudah menyangkut masalah bukti hukum status kawasan.
Hal
ini sudah barang tentu juga dapat merupakan andil timbulnya
sengketa-sengketa kawasan baik karena penebangan liar (ilog), perambahan
kawasan hutan maupun sengketa lahan lainnya (land tenure). Perlu dipikirkan agar masalah pengukuhan kawasan hutan ini ditingkatkan perundang undangannya menjadi undang-undang pengukuhan hutan, atau setidak-tidaknya peraturan pemerintah yang dalam pelaksanaan pengukuhan/penetapan kawasan hutan ditetapkan oleh Presiden melalui Keppres, sehingga dengan demikian mengikat semua pihak dan terjaminnya kepastian hukum kawasan hutan dari pada yang selama ini hanya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan (dengan Keputusan Menteri) saja.
sengketa-sengketa kawasan baik karena penebangan liar (ilog), perambahan
kawasan hutan maupun sengketa lahan lainnya (land tenure). Perlu dipikirkan agar masalah pengukuhan kawasan hutan ini ditingkatkan perundang undangannya menjadi undang-undang pengukuhan hutan, atau setidak-tidaknya peraturan pemerintah yang dalam pelaksanaan pengukuhan/penetapan kawasan hutan ditetapkan oleh Presiden melalui Keppres, sehingga dengan demikian mengikat semua pihak dan terjaminnya kepastian hukum kawasan hutan dari pada yang selama ini hanya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan (dengan Keputusan Menteri) saja.
Menyangkut
masalah kebijakan Eksternal yaitu izinpendirian atau izin
penetapan kapasitas industri terpasang (industri perkayuan) selama ini, ada
pada kewenangan Depperindag, yang sebelumnya di Dephut. Dengan izin tersebut berada di Depperindag maka seringkali timbul kesenjangan antara sumber bahan baku yang ada di hutan dengan kapasitas industri terpasang yang ada di industri perkayuan, sehingga akibatnya industri mengalami kekurangan bahan baku. Untuk itu tidak jarang terjadi industri perkayuan
cenderung “menampung” kayu-kayu yang bermasalah; hal tersebut jelas mempunyai andil yang cukup kuat timbulnya penebangan liar atau ilog.
penetapan kapasitas industri terpasang (industri perkayuan) selama ini, ada
pada kewenangan Depperindag, yang sebelumnya di Dephut. Dengan izin tersebut berada di Depperindag maka seringkali timbul kesenjangan antara sumber bahan baku yang ada di hutan dengan kapasitas industri terpasang yang ada di industri perkayuan, sehingga akibatnya industri mengalami kekurangan bahan baku. Untuk itu tidak jarang terjadi industri perkayuan
cenderung “menampung” kayu-kayu yang bermasalah; hal tersebut jelas mempunyai andil yang cukup kuat timbulnya penebangan liar atau ilog.
Menyangkut
ini diharapkan agar izin pendirian dan izin kapasitas industri terpasang (hasil
hutan) ditangani oleh satu atap di Dephut, agar tanggung jawab publiknya jelas,
dan tidak saling menyalahkan antara Dephut dengan Depperindag (kembali seperti
semula). Tentunya hal ini memerlukan kearifan tersendiri dari pihak terkait.
Yang penting jangan ada vested of interest dari pihak-pihak yang berkepentingan
(contohnya: industri kelapa sawit;
dimana ijin industri dan kapasitas terpasangnya tetap berada di Departemen
Pertanian cq Ditjen Perkebunan, dan bukan di Depperindag).
dimana ijin industri dan kapasitas terpasangnya tetap berada di Departemen
Pertanian cq Ditjen Perkebunan, dan bukan di Depperindag).
Praktek Illegal logging dan
eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran
sumberdaya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat
dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara
kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum
menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan
yang dapat dihasilkan dari sumberdaya hutan.
Buruknya pola penanganan konvensional oleh
pemerintah sangat mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Pola penanganan
yang hanya mengandalkan 18 instansi sesuai ketentuan dalam Inpres No.4 Tahun
2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan hutan dan
peredarannya di seluruh wilayah republik Republik Indonesia, dalam satu mata
rantai pemberantasan illegal logging turut menentukan proses
penegakan hukum, di samping adanya indikasi masih lemahnya penegakan hukum di
Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang korup.
Kekebalan para dalang/mastermind/aktor
intelektual/backing/pemodal/pelaku utama terhadap hukum disebabkan
adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum menjadi dinamisator maupun
supervisor dan sebagian bahkan menjadi ‘backing’ bisnis haram ini.
Besarnya uang yang beredar sekitar US$1.3 milyar (WWF/World Bank, 2005), serta
banyaknya pihak yang turut menikmati hasil bisnis ilegal ini, punya andil yang
cukup besar untuk mempengaruhi proses kegagalan dalam penanganan
kejahatan kehutanan sepertiillegal logging.
Penerapan Undang Undang Lingkungan Hidup untuk Perlindungan Hutan
Indonesia
Undang-Undang Lingkungan Hidup diarahkan agar hutan dan semua
Sumber Daya Alam yang ada di bumi Indonesia dapat perlindungan dengan segala
aturan yang telah ada saat ini. Berbicara tentang hukum yang berlaku untuk
mengatasi segala permasalahanpermasalahan, harus dilihat dari tiga sisi, yakni
sisi substansi hukum, aparatur hukum yang ada dalam setiap proses yang ada
serta budaya hukum yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Selanjutnya apakah
hukum itu telah diterapkan dengan baik atau tidak?. Artinya pada saat salah
satu dari ketiga hal itu tidak terpenuhi maka penerapan hukum yang diharapkan
tidaklah akan berjalan sesuai dengan harapan.
Sekian banyak penyimpangan fungsi hutan di
Indonesia, dari hutan lindung diubah fungsi hutannya menjadi hutan
industri. Beberapa hutan lindung yang ada di Indonesia telah rusak dan menjadi
permasalahan lingkungan. Pengerusakan hutan yang terjadi seringkali
mengakibatkan efek sangat besar bagi kehidupan sehari-hari masyarakat di
lingkungan hutan tersebut. Mulai dari terjadinya kekeringan, longsor, dan erosi
dan paling parah masyarakat tidak dapat melanjutkan kehidupan secara layak
akibat kerusakan yang terjadi seperti pertanian, perikanan darat, dan kehidupan
sehari-hari yang terganggu.
Dari sekian banyak fakta nyata mengenai pengrusakan
hutan yang terjadi di Indonesia sering ditindak tidak sesuai dengan harapan
masyarakat umum. Masyarakat lebih mengharapkan fungsi hutan yang telah dirusak
dikembalikan daripada sekedar pemidanaan dan denda yang dikenakan terhadap
pelaku pengrusakan hutan. Ini karena masyarakat lebih membutuhkan air, tanah,
hawa sejuk, udara segar, tanah tidak longsor, dan keindahan alam seperti
sebelum pengerusakan lingkungan hutan. Artinya pemerintah harus dapat menghukum
para perusak hutan agar mengembalikan hutan sebagaimana mestinya dan memberikan
efek jera terhadapnya. Apabila sekedar pengembalian kerugian negara dalam
materi, tidaklah memberikan efek jera karena para pengusaha tidak sulit untuk
mengembalikan uang negara.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 sanksi
pidana dengan penarikan izin usaha dan pidana penjara lebih dihindari para
pengusaha atau pelaku pengerusakan lingkungan. Memang dalam perudang-undangan
yang ada saat ini lebih mengedepankan denda yang besar daripada pengembalian
fungsi hutan dan lingkungan. Hal ini yang menyebabkan para pelaku usaha dari
awal mendapatkan izin langsung memaksimalkan produksi untuk mengumpulkan
keuntungan.
Apabila terjadi pengrusakan lingkungan yang
tidak disengaja dapat diganti rugi dengan sejumlah dana denda. Karena masalah
hutan dan lingkungan saat ini lebih didomonasi para pemegang izin yang
melanggar atau tidak mematuhi hukum yang diberlakukan atas dirinya berdasarkan
izin tersebut. Artinya mereka melakukan perbuatan yang tidak diatur dalam izin
yang diberikan.
Hal yang sering terjadi, dengan gampangnya para
pemberi izin dengan merubah fungsi hutan, misalnya dari Hutan Lindung dan Hutan
Taman Nasional menjadi hutan industri, yang berakibat fatal dengan banyaknya
hutan yang seharusnya dipertahankan dan diatur dengan undang-undang untuk itu,
dikelola oleh pengusaha. Apabila tetap terjadi perubahan fungsi dan jenis
hutan, tidaklah menutup kemungkinan hutan yang ada di Indonesia saat ini akan
habis.
Penanganan Ilegal Logging
Di Hutan Indonesia
Untuk mengatasi ilegal
loggigg dan sekaligus juga perambahan hutan, kiranya pemerintah perlu melakukan
restrukturisasi atas kelembagaan ini sebagaimana
yang diamanatkan dalam program ketiga Departemen Kehutanan yaitu: restrukturisasi kelembagaan sektor kehutanan, dengan cara antara lain perlu dibentuk unit-unit pengelolaan hutan untuk setiap unit kawasan hutan di bawah satuan kerja yang telah ada dengan fasilitas yang memadai. Perlu mendudukkan fungsi Dinas Kehutanan di provinsi sebagai regulator di samping fungsinya sebagai koordinator lembaga/instansi kehutanan yang ada di provinsi/ kabupaten/kota; sehingga jelas tugas/fungsinya sebagai instansi pemerintah yang melaksanakan tugas umum pemerintahan (melaksanakan kebijakan publik). Selain itu, perlu mengembalikan fungsi Perhutani ke dalam fungsi BUMN murni yang diberi tugas mencari/ mendapatkan keuntungan finansial bagi perusahaan untuk mendukung pelaksanaan program pembangunan kehutanan dalam arti luas.
yang diamanatkan dalam program ketiga Departemen Kehutanan yaitu: restrukturisasi kelembagaan sektor kehutanan, dengan cara antara lain perlu dibentuk unit-unit pengelolaan hutan untuk setiap unit kawasan hutan di bawah satuan kerja yang telah ada dengan fasilitas yang memadai. Perlu mendudukkan fungsi Dinas Kehutanan di provinsi sebagai regulator di samping fungsinya sebagai koordinator lembaga/instansi kehutanan yang ada di provinsi/ kabupaten/kota; sehingga jelas tugas/fungsinya sebagai instansi pemerintah yang melaksanakan tugas umum pemerintahan (melaksanakan kebijakan publik). Selain itu, perlu mengembalikan fungsi Perhutani ke dalam fungsi BUMN murni yang diberi tugas mencari/ mendapatkan keuntungan finansial bagi perusahaan untuk mendukung pelaksanaan program pembangunan kehutanan dalam arti luas.
Kesimpulan
Berdasarkan
asas dan tujuan Undang-Undang Kehutanan dinyatakan bahwa penyelenggaraan
kehutanan berdasarkan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan, dan keterpaduan. Dasar yang kuat untuk pemerintah dalam memberikan
izin pengelolaan hutan dan lingkungan hidup yang ada harus memenuhi dan sesuai
dengan asas dan tujuan tersebut. Apabila tidak bisa dilakukan oleh pengusaha,
maka izin selayaknya jangan diberikan kepada pengusaha tersebut. Namun dalam
praktek pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri (HPTI) seringkali diberikan hanya karena kemampuan pengusaha secara
administratif dan pendanaan. Sedangkan asas manfaat dan kelestarian tidak
dilihat dan disyaratkan secara tegas. Hal ini memicu sering terjadinya
saat hak-hak atas pengusahaan hutan yang diberikan dilanggar dengan gampangnya
oleh pengusaha. Selain tindakan preventif dalam pemberian izin, dalam
pengawasan, pemerintah harus dengan tegas dan rutin agar tindakan represif
dengan sesegera mungkin dapat dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran hukum
yang lebih merugikan negara dan masyarakat.
Sumber :
Illegal Logging, dan
Hilangnya Hutan Indonesia 2 http://www. fkkm. org/Pusat Data/ index.
php?
action=detail4&page=6〈=ind