Pertanian merupakan bidang yang
sangat penting untuk menunjang kehidupan umat manusia. Perkembangan pertanian
diawali dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat prasejarah, yaitu
perubahan dari budaya food gathering (berburu dan meramu) menjadi food
producing (bercocok tanam). Sejak periode bercocok tanam tersebut, bidang
pertanian selalu mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Bahkan
sejak revolusi industri di Inggris akhir abad ke-18, industri pertanian,
termasuk juga industri pengolahan hasil pertanian dan industri pangan,
berkembang dengan pesat.
Perkembangan bidang pertanian yang begitu pesat, ternyata menimbulkan
permasalahan tersendiri. Menurut Kasumbogo-Untung (2010), penerapan pertanian
konvensional yang selama ini dilakukan antara lain:
- Peningkatan erosi permukaan, banjir dan tanah longsor
- Penurunan kesuburan tanah
- Hilangnya bahan organik tanah
- Salinasi air tanah dan irigasi serta sedimentasi tanah
- Peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida, limbah domestik
- Eutrifikasi badan air
- Residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan makanan yang mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar
- Pemerosotan keanekaragaman hayati pertanian, hilangnya kearifan tradisional dan budaya tanaman lokal
Penerapan
pertanian konvensional pada awalnya mampu meningkatkan produktivitas pertanian
dan pangan secara nyata, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan
manusia. Tetapi ternyata diketahui kemudian efisiensi produksi semakin lama
semakin menurun karena pengaruh umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan.
Untuk
memecahkan masalah-masalah tersebut, para pakar mengeluarkan gagasan mengenai
pertanian berkelanjutan. Dengan konsep pertanian berkelanjutan diharapkan
sistem pertanian dapat bertahan sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Food and Agriculture Organization (FAO)
mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai manajemen dan konservasi basis
sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin
tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun
mendatang. Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air,
sumberdaya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna
secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO,
1989). Sedangkan Thrupp (1996) menjelaskan pertanian perkelanjutan sebagai
praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi
menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanian berkelanjutan telah menjadi dasar
penyusunan standar prosedur operasi Praktek Pertanian yang Baik (PPB) atau
dikenal pula dengan istilah Good Agricultural Practices (GAP)
(Achmad-Suryana, 2005). Menurut Anonim (2004), GAP merupakan rekomendasi yang
dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas dan keamanan tanaman
pertanian selama dibudidayakan. Dalam hal ini GAP dapat difokuskan menjadi
dasar pelaksanaan Good Farming Practices (GFP). Good Farming
Practices bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang baik atau bahan
baku industri pertanian yang baik. Ciri-ciri keberhasilan Good Farming
Practices adalah hasil panennya secara kuantitas (jumlah); kualitas (nilai
gizi dan keamanan); serta kontinuitas (ketersediaan) dapat diandalkan.
Beberapa tahun belakangan ini, untuk mencapai
tujuan Good Farming Practices dikembangkan suatu teknologi rekayasan
genetika, yang dikenal dengan nama Genetic Modified Organism (GMO).
Tanaman hasil rekayasa genetika terbukti mempu menghasilkan hasil panen (buah
dan sayur) yang kuantitas, kualitas, dan kontinuitasnya dapat diandalkan.
Bahkan buah-buahan yang dihasilkan secara sensoris dapat memenuhi keinginan
konsumen. Tetapi sampai saat ini teknologi GMO tersebut masih diperdebatkan,
karena sebagian ahli pangan dan kesehatan masih mempertanyakan keamanan
produk-produk hasil rekayasa genetika. Hal yang perlu digarisbawahi adalah
teknologi rekayasa genetika mampu menjawab tantangan untuk memenuhi keinginan
konsumen akan suatu produk pertanian. Jika masih ada yang sebagian ahli yang
mempertanyakan keamanannya, maka teknologi rekayasa genetika harus terus
dikembangkan untuk menghasilkan produk-produk yang aman secara meyakinkan.
Sejalan dengan konsep pertanian berkelanjutan, di
dalam Good Farming Practices juga ditekankan pentingnya aspek ekologi,
terutama untuk menghindari penurunan kesuburan tanah pertanian. Penggunaan
pupuk kimia yang selama ini diterapkan secara nyata telah merusak ekologi
tanah, sehingga semakin lama kesuburan tanah semakin berkurang. Oleh karena itu,
penggunaan pupuk organik kembali digalakkan. Salah satu kelemahan pupuk organik
adalah bentuk dan ukurannya yang tidak teratur, sebab terbuat dari campuran
kompos, kotoran hewan ternak, dan bahan lain, sehingga menghambat penerapannya
di lapangan. Di sini salah satu peran teknologi menjadi cukup menonjol. Dengan
adanya inovasi teknologi, telah diciptakan instalasi mesin Pupuk Organik Granul
(POG). Inovasi teknologi ini mampu menjadikan pupuk organik yang tidak bentuk
dan ukurannya tidak beraturan menjadi pupuk organik yang berbentuk butiran
padat dengan ukuran 2-4 mm pada tingkat kekerasan tertentu, sehingga
mempermudah penggunaannya di lapangan.
Kesadaran tentang pentingnya pertanian
berkelanjutan sudah menjadi trend global. Bahkan akhir-akhir ini negara-negara
yang tergabung dalam Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyepakati untuk
melakukan pembangunan sektor pertanian secara berkelanjutan. Hal itu merupakan
salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam Pertemuan Tingkat Menteri APEC
tentang Ketahanan Pangan yang pertama (The 1st APEC Ministerial Meeting On
Food Security) di selenggarakan Nigata, Jepang pada 16-17 Oktober 2010.
Pada kesempatan itu disepakati deklarasi tentang ketahanan pangan di kawasan Asia Pasifik atau Nigata Declaration on APEC Food Security yang mana Indonesia berhasil memasukkan dua hal terkait upaya pencapaian Ketahanan Pangan berkelanjutan. Kedua hal itu adalah pentingnya diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan pentingnya kerjasama regional dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan darurat di kawasan (Antara, 2010).
Pada kesempatan itu disepakati deklarasi tentang ketahanan pangan di kawasan Asia Pasifik atau Nigata Declaration on APEC Food Security yang mana Indonesia berhasil memasukkan dua hal terkait upaya pencapaian Ketahanan Pangan berkelanjutan. Kedua hal itu adalah pentingnya diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan pentingnya kerjasama regional dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan darurat di kawasan (Antara, 2010).
Langkah kembali kepada sumber daya lokal juga
merupakan salah satu penerapan Good Farming Practices. Selama ini,
akibat kebijakan era orde baru, tanaman pangan yang digalakkan untuk
dibudidayakan hanya padi dan jagung. Tanaman pangan lain, seperti sagu, ketela
pohon, ubi jalar, umbi-umbian seperti uwi, talas, suweg, garut, ganyong,
gadung, pisang, sukun, labu kuning, dan sebagainya menjadi dianggap inferior
dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Akibatnya, berbagai tanaman asli
nusantara tersebut perlahan-lahan mulai menghilang. Padahal menurut
Murdijati-Gardjito (2010a), potensi jenis pangan di Indonesia ini sangat
menakjubkan, karena telah diidentifikasi, ada 77 macam tanaman sumber
karbohidrat, 75 macam sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis
buah-buahan, 226 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah-rempah.
Potensi yang melimpah tersebut sama sekali belum
dioptimalkan oleh negara. Justru yang terjadi adalah impor bahan pangan,
terutama impor tepung terigu untuk keperluan industri dalam negeri. Hal
tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor pangan terbesar no 2 di
dunia dengan nilainya ± Rp 50 triliun atau setara dengan 5 milyar US Dollar
(Kompas, 19/06/2010). Oleh sebab itu, alangkah baiknya apabila pertanian di
Indonesia kembali membudidayakan potensi pangan nusantara. Setelah sumber daya
lokal tersebut kembali digalakkan, selanjutnya inovasi dan teknologi berperan
besar dalam mengolah ubi kayu, ubi jalar, dan umbi-umbian lain tersebut menjadi
pangan yang setara dengan beras atau tepung terigu.