Senin, 15 April 2013

INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN UNTUK MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN


  Pertanian merupakan bidang yang sangat penting untuk menunjang kehidupan umat manusia. Perkembangan pertanian diawali dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat prasejarah, yaitu perubahan dari budaya food gathering (berburu dan meramu) menjadi food producing (bercocok tanam). Sejak periode bercocok tanam tersebut, bidang pertanian selalu mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Bahkan sejak revolusi industri di Inggris akhir abad ke-18, industri pertanian, termasuk juga industri pengolahan hasil pertanian dan industri pangan, berkembang dengan pesat.
            Perkembangan bidang pertanian yang begitu pesat, ternyata menimbulkan permasalahan tersendiri. Menurut Kasumbogo-Untung (2010), penerapan pertanian konvensional yang selama ini dilakukan antara lain:
  1. Peningkatan erosi permukaan, banjir dan tanah longsor
  2. Penurunan kesuburan tanah
  3. Hilangnya bahan organik tanah
  4. Salinasi air tanah dan irigasi serta sedimentasi tanah
  5. Peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida, limbah domestik
  6. Eutrifikasi badan air
  7. Residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan makanan yang mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar
  8. Pemerosotan keanekaragaman hayati pertanian, hilangnya kearifan tradisional dan budaya tanaman lokal
Penerapan pertanian konvensional pada awalnya mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan pangan secara nyata, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Tetapi ternyata diketahui kemudian efisiensi produksi semakin lama semakin menurun karena pengaruh umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan.
Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, para pakar mengeluarkan gagasan mengenai pertanian berkelanjutan. Dengan konsep pertanian berkelanjutan diharapkan sistem pertanian dapat bertahan sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu untuk memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Food and Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO, 1989). Sedangkan Thrupp (1996) menjelaskan pertanian perkelanjutan sebagai praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanian berkelanjutan telah menjadi dasar penyusunan standar prosedur operasi Praktek Pertanian yang Baik (PPB) atau dikenal pula dengan istilah  Good Agricultural Practices (GAP) (Achmad-Suryana, 2005). Menurut Anonim (2004), GAP merupakan rekomendasi yang dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas dan keamanan tanaman pertanian selama dibudidayakan. Dalam hal ini GAP dapat difokuskan menjadi dasar pelaksanaan Good Farming Practices (GFP). Good Farming Practices bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang baik atau bahan baku industri pertanian yang baik. Ciri-ciri keberhasilan Good Farming Practices adalah hasil panennya secara kuantitas (jumlah); kualitas (nilai gizi dan keamanan); serta kontinuitas (ketersediaan) dapat diandalkan.
Beberapa tahun belakangan ini, untuk mencapai tujuan Good Farming Practices dikembangkan suatu teknologi rekayasan genetika, yang dikenal dengan nama Genetic Modified Organism (GMO). Tanaman hasil rekayasa genetika terbukti mempu menghasilkan hasil panen (buah dan sayur) yang kuantitas, kualitas,  dan kontinuitasnya dapat diandalkan. Bahkan buah-buahan yang dihasilkan secara sensoris dapat memenuhi keinginan konsumen. Tetapi sampai saat ini teknologi GMO tersebut masih diperdebatkan, karena sebagian ahli pangan dan kesehatan masih mempertanyakan keamanan produk-produk hasil rekayasa genetika. Hal yang perlu digarisbawahi adalah teknologi rekayasa genetika mampu menjawab tantangan untuk memenuhi keinginan konsumen akan suatu produk pertanian. Jika masih ada yang sebagian ahli yang mempertanyakan keamanannya, maka teknologi rekayasa genetika harus terus dikembangkan untuk menghasilkan produk-produk yang aman secara meyakinkan.
Sejalan dengan konsep pertanian berkelanjutan, di dalam Good Farming Practices juga ditekankan pentingnya aspek ekologi, terutama untuk menghindari penurunan kesuburan tanah pertanian. Penggunaan pupuk kimia yang selama ini diterapkan secara nyata telah merusak ekologi tanah, sehingga semakin lama kesuburan tanah semakin berkurang. Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik kembali digalakkan. Salah satu kelemahan pupuk organik adalah bentuk dan ukurannya yang tidak teratur, sebab terbuat dari campuran kompos, kotoran hewan ternak, dan bahan lain, sehingga menghambat penerapannya di lapangan. Di sini salah satu peran teknologi menjadi cukup menonjol. Dengan adanya inovasi teknologi, telah diciptakan instalasi mesin Pupuk Organik Granul (POG). Inovasi teknologi ini mampu menjadikan pupuk organik yang tidak bentuk dan ukurannya tidak beraturan menjadi pupuk organik yang berbentuk butiran padat dengan ukuran 2-4 mm pada tingkat kekerasan tertentu, sehingga mempermudah penggunaannya di lapangan.
Kesadaran tentang pentingnya pertanian berkelanjutan sudah menjadi trend global. Bahkan akhir-akhir ini negara-negara yang tergabung dalam Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyepakati untuk melakukan pembangunan sektor pertanian secara berkelanjutan. Hal itu merupakan salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam Pertemuan Tingkat Menteri APEC tentang Ketahanan Pangan yang pertama (The 1st APEC Ministerial Meeting On Food Security) di selenggarakan Nigata, Jepang pada 16-17 Oktober 2010.
Pada kesempatan itu disepakati deklarasi tentang ketahanan pangan di kawasan Asia Pasifik atau Nigata Declaration on APEC Food Security yang mana Indonesia berhasil memasukkan dua hal terkait upaya pencapaian Ketahanan Pangan berkelanjutan. Kedua hal itu adalah pentingnya diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan pentingnya kerjasama regional dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan darurat di kawasan (Antara, 2010).
Langkah kembali kepada sumber daya lokal juga merupakan salah satu penerapan Good Farming Practices. Selama ini, akibat kebijakan era orde baru, tanaman pangan yang digalakkan untuk dibudidayakan hanya padi dan jagung. Tanaman pangan lain, seperti sagu, ketela pohon, ubi jalar, umbi-umbian seperti uwi, talas, suweg, garut, ganyong, gadung, pisang, sukun, labu kuning, dan sebagainya menjadi dianggap inferior dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Akibatnya, berbagai tanaman asli nusantara tersebut perlahan-lahan mulai menghilang. Padahal menurut Murdijati-Gardjito (2010a), potensi jenis pangan di Indonesia ini sangat menakjubkan, karena telah diidentifikasi, ada 77 macam tanaman sumber karbohidrat, 75 macam sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 226 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah-rempah.
Potensi yang melimpah tersebut sama sekali belum dioptimalkan oleh negara. Justru yang terjadi adalah impor bahan pangan, terutama impor tepung terigu untuk keperluan industri dalam negeri. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor pangan terbesar no 2 di dunia dengan nilainya ± Rp 50 triliun atau setara dengan 5 milyar US Dollar (Kompas, 19/06/2010). Oleh sebab itu, alangkah baiknya apabila pertanian di Indonesia kembali membudidayakan potensi pangan nusantara. Setelah sumber daya lokal tersebut kembali digalakkan, selanjutnya inovasi dan teknologi berperan besar dalam mengolah ubi kayu, ubi jalar, dan umbi-umbian lain tersebut menjadi pangan yang setara dengan beras atau tepung terigu.

Inovasi teknologi pertanian untuk produk global


Perubahan budaya atau aspek sosial ternyata merubah cara pandang. Jaman dahulu kala, manusia mencukupi kebutuhan pangan dengan cara berburu. Setelah lewat era itu, kebutuhan pangan diusahakan dengan bercocok tanam. Saat ini perkembangan itu sudah demikian dasyat. Teknologi pangan sudah demikian maju. Dari sekian bahan pangan yang dimakan oleh manusia ternyata masih banyak berasal dari muka bumi artinya belum tergantikan oleh produk digital. Dari mulai tanaman di tanam, dirawat, dipanen, dikemas, didistribusikan hingga di meja makan membutuhkan inovasi.
Namun demikian pada era industrialisasi global sekitar abad ke-18, peningkatan bahan pangan yang digenjot habis-habisan ini menyisakan masalah baru. Penggunaan teknologi saat itu masih menyisakan kesedihan kepada perubahan sosial, ekonomi dan ekologi saat ini. Penerapan teknologi pertanian konvensional yang membahana menyebabkan ketergantungan petani menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia. Pelaksanaan budidaya yang kurang memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup. Bahkan hitung-hitungan yang rasional terhadap pembelajaan sarana produksi pertanian tidak dihitung sebagai rugi laba.
Beberapa fakta yang bisa ditemui saat ini berkaitan dengan gagalnya pertanian konvensional antara lain ;
1.     Penurunan tingkat kesuburan tanah
2.     Hilangnya bahan organik dalam tanah
3.     Erosi dan sedimentasi tanah
4.     Pencemaran tanah dan air akibat penggunaan bahan kimia yang berlebihan
5.     Residu pestisida dan bahan berbahaya lainnya
6.     Memudarnya konsep gotong royong masyarakat
7.     Berkurangnya luas lahan karena beralih fungsi jadi tempat industri, dll
Hingga kemudian para pakar mengemukakan gagasan mengenai pertanian berkelanjutan. Urusan pangan bukan hanya untuk saat ini tetapi juga untuk masa depan. Bukan hanya untuk kita tetapi juga untuk anak cucu kita. Food and Agriculture Organization (FAO, 1989) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial.
Pertanian berkelanjutan ini tidak lepas dari pemanfaatan teknologi. Tiga pilar pertanian berkelanjutan antara lain; dimensi Sosial, dimensi Ekonomi dan dimensi Ekologi. Selain dimensi tersebut penting untuk mengaplikasikan teknologi yang berkaitan langsung dengan bidang pertanian maupun bidang lain. Teknologi ini harus mampu memacu peningkatan nilai tambah (value added), daya saing (competitiveness), dan keuntungan (profit/benefit) produk pertanian.
Organ teknologi yang diperlukan adalah cara budidaya dan bertani secara berkelanjutan dilakukan dengan baik, penanganan hasil panen yang baik, pengolahan/pasca panen dan membangun sistem distribusi yang baik. Indikasi atau ukuran keberhasilan pelaksanaan teknologi tersebut adalah standar terhadap produk pertaniannya. Produk pertanian yang baik memenuhi kriteria kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Teknologi yang mampu mendaur ulang proses pemanfaatan (zero waste) dan pemanfaatan sumberdaya lokal serta diversifikasi merupakan salah satu bagian dari strategi penguatan teknologi.
Indonesia merupakan negara besar dan memiliki potensi untuk melaksanakan hal ini. Sumberdaya cukup melimpah dan didukung oleh iklim yang kondusif. Peran serta pengambil kebijakan lebih fokus dalam pembangunan bidang pertanian berkelanjutan akan mengenjot gairah perkembangan pertanian berkelanjutan. Pada masanya, produk petani Indonesia mampu menjadi daya saing global.